Nasgor Over Dosis

Suatu malam aku menyambut suami pulang kantor. Saat itu ia bekerja di Jakarta, di sebuah stasiun televisi. Kubayangkan betapa capeknya tiap hari menempuh jarak Serang-Jakarta dan menyetir mobil sendiri dengan satu tangan.
Maka, aku berusaha menebus rasa lelahnya dengan sambutan sebagus mungkin.
Seperti biasa segelas air putih dingin kusediakan untuknya. Kutawarkan untuk makan malam, bahkan dengan menu yang lain dari masakan yang sudah kusajikan.
“Lapar, Mah. Bisa masakin nasi goreng? Pengin nasi goreng, euy…” katanya usai kucium punggung tangannya.
Ia membuka tudung saji, lalu menggumam sendiri.
“Nggak jadi deh, Mamah sudah masak ya?”
Aku tersenyum, “Nggak apa-apa. Kan bisa disimpan buat sarapan besok!”
Ia tampak lega, “Papah mandi, sementara Mamah masak, ya!”
“Oke! Pakai telur ceplok, kan?” aku bergegas ke dapur, sementara suamiku mandi.

Aku ambil bumbu nasi goreng instan dalam kaleng. Di dalamnya sudah lengkap daging ayam dan potongan sosis. Tinggal menambahi telur ceplok dan kerupuk. Nasi sepiring sesuai porsi suami kutambahkan. Aku memasak sepenuh cinta.

Setengah jam kemudian makanan siap di meja makan. Suamiku yang sudah mandi dan sholat isya tengah melihat berita di televisi. Kupanggil ia untuk segera makan. Seperti biasa ia akan menyambut gembira dan berterima kasih untuk hasil masakanku.
“Mamah nggak makan?” tanyanya sambil menyuap nasi.
“Sudah, tadi makan duluan. Nggak tahan udah lapar…” aku memerhatikan raut muka suamiku yang agak aneh saat mengunyah.
“Kenapa, Pah?”
Ia menggeleng, tetap menyuap nasi, tapi tak seantusias biasanya.
Kuhitung baru tiga suap saat ia meletakkan sendok. Lalu meminum habis air putih dingin, dan meminta segelas lagi.
“Terlalu pedas?” aku masih heran.
Ia menggeleng dan tersenyum, “Mamah belum cicipin?”

Duarr!!
Aku kaget dan curiga. Kugeser piringnya, kusuap sesendok dan merasakan keanehan masakanku. Tadi aku memang lupa mencicipi. Rasa asin, pedas dan gurih yang semuanya level over dosis! Aku tak sanggup menelannya. Bagaimana bisa suamiku bertahan dengan tiga suapan?

Suamiku menahan geli melihat raut mukaku.
“Bentar, Pah…” aku bergegas memeriksa kaleng kemasan bumbu nasgor. Kubaca huruf-huruf kecil cara memasak.
Astagfirullah. …

Aku kembali menemui suamiku dengan muka penuh sesal.
“Maaf ya, Pah…”
Suamiku menepuk punggung tanganku, “Nggak apa-apa. Emang harusnya gimana cara masaknya?”
Aku merengut, “Harusnya sih, sekaleng bumbu itu buat tiga piring nasi, sedangkan tadi cuma sepiring nasinya…”
Suamiku tertawa kecil mendengar jawabanku.
“Ya sudah, besok aja masak lagi! Udah, jangan dipikirkan. Papah juga sudah kenyang, kan bumbunya banyak…”

Diam-diam aku bersyukur ia tak langsung marah atau mengomel. Padahal kondisinya pasti lelah dan berharap makan dengan nikmat.
Sampai sekarang pun, saat masakanku kurang berkenan di lidahnya, ia tak pernah menyalahkan. Cukup memberitahu dengan bahasa yang enak didengar

Makasih, Aa. Untuk meneladani salah satu sifat Rasulullah…
Berharap aku bisa jadi istri salihah untukmu

Sebab Hidup Begitu Indah (5)

DIGITAL CAMERASuatu malam aku sedang menjahit rok Kaka, si bungsu. Dengan mesin jahit tangan seharga sepuluh ribu rupiah, aku berusaha mengganti elastiknya.

Tentu saja hasilnya tak sebagus jahitan mesin. Lagipula mesin jahit dengan tenaga telapak tangan itu bikin pegal:D Jahitan pun harus diulang dari sisi sebaliknya, supaya kuat.

Tapi aku suka mengerjakan keterampilan tangan seperti itu. Semasa gadis, aku sering menjahit baju-baju sederhana rancangan sendiri. Aku pun belajar membuat pola otodidak dari buku-buku. Untuk memecah pola, ibuku mengajari secara khusus. Kegiatan ini terhenti ketika aku mulai kuliah dan butuh banyak waktu belajar.

Ibuku pintar menjahit, hampir semua baju anak-anaknya adalah hasil karyanya. Ah, nanti aku ingin menulis secara khusus tentang ibu dan jahitannya:)

Baca lebih lanjut

Sebab Hidup Begitu Indah (4)

IMG01339-20130515-0704Ini kisah nyata. Bukan lebay. Apa adanya. Pernah kutulis di twitter, tapi ini kisah lengkapnya.

Malam itu ceritanya dapat undangan resepsi pernikahan seorang teman baik. Diadakan di salah satu hotel, malam hari. Dan aku bimbang antara pakai sepatu fantovel atau high heels.

Fantovelku sudah kusam dan beberapa bagian lemnya terkelupas. Aku takut jika kupakai malah nanti solnya lepas dari badannya:D

Sementara untuk hak tinggi, sebenarnya aku sering sakit di kaki dan punggung jika memakainya. Tapi ini sewarna dengan batik biruku. Ada sih selop lain yang lebih nyaman, tapi warna pink, sungguh tidak serasi mengingatnya:(

Maka, atas nama keserasian warna, aku pakai high heels biru itu. Bukan termasuk kelas stiletto yang runcing itu. Wih, kalau yang terakhir ini aku gak berani pakai, takut “kejlungup” 😀 Apa yah, bahasa Indonesianya?

Baca lebih lanjut

Sebab Hidup Begitu Indah (3)

Diskusi Serius  Selepas subuh itu, aku dan hubby membicarakan banyak hal. Bermacam topik meloncat begitu saja dari   pikiran masing-masing. Soal pekerjaan, karya, anak-anak, keluarga besar, keuangan, rencana-rencana, keinginan-keinginan, dan tubuh yang menua.

Sejak 2008 aku harus menghadapi kondisinya yang sering mengeluh sakit. Sempat menjalani perawatan beberapa minggu di RS Holistic di Purwakarta, Jawa Barat. Lalu menempuh pengobatan alternatif Qi Gong dan konsumsi ramuan herbal.

Dulu sempat disesalinya, karena seolah aku hanya menerima sisa kekuatannya. Sebab ia tak lagi sanggup menemaniku yang ingin sekali ke Baduy. Sejak lama aku ingin berkunjung, tapi suamiku bilang sudah bosan jalan ke sana. Ia tak menyadari aku  belum pernah.

Baca lebih lanjut

Sebab Hidup Begitu Indah (2)

odieTadi pagi ngobrol sama Odie (10 yo) soal fasilitas kami yang bagi dia terbatas. Tentang main game, fesbukan, jajan, yang semua dibatasi.

Aku coba jelaskan alasannya. Bukan berarti kami membatasi gerak kreatifnya. Bukan karena kami iri tak bisa melakukan hal sama. Bukan karena kami tidak suka kegiatannya. Semata, jika berlebihan akan berbahaya.

“Odie bisa kok main game terus-terusan tanpa dilarang. Mau main sepuasnya juga boleh. Tapi nanti…” Kataku.

Odie menatapku heran, ” Kapan?”

Aku tersenyum, “Nanti, kalau sudah di surga.”

Odie tersenyum.

Beratkah cerita surga buat anak seusia dia? Bagiku tidak. Kami sering membicarakan kehidupan setelah mati. Tanpa ada dogma-dogma berat atau mengerikan. Kupikir, surga dan neraka bukanlah sesuatu yang tabu dibicarakan dengan anak sejak kecil. Justru dengannya dijanjikan banyak bahagia.

 

@tiastatanka

Sepotong Doa untuk Suami

Dear hubby,
Segala tentangmu adalah sulit dituliskan. Tak hanya pujian, tapi juga keluh. Bukankah engkau lebih suka kurahasiakan seluruh tentang kita? Maka aku tak banyak membagi.

Dear hubby,
Izinkan aku menuliskan sedikit saja. Sebab segala tentangmu adalah istimewa. Danau di mataku tiba-tiba pasang tanpa ombak. Menghangat tanpa panas. Meluap tanpa gemuruh.

Dear hubby,
Engkau yang entah mengapa kata-katamu sering terjadi. Tuhan bicara padaku lewatmu. Maaf jika sering lalaiku.

Dear hubby,
Mencintaimu tak dapat kulakukan sepenuh segala. Tidak seluruh raga jiwa dan hati. Tidak juga dirimu. Jangan mencintaiku sepenuh dirimu. Kau tahu. Agar kita tak menghujat Tuhan saat terpisahkan.

Dear hubby,
Jika ingin tahu besar cintaku, adalah sepanjang doa untukmu. Agar kita saling meringankan saat dosa dan kebaikan diperhitungkan. Agar Tuhan kasih kita bertemu di surga kelak. Dalam kemudaan. Abadi.

I LOVE CARD

Saat bongkar-bongkar buku di perpustakaan rumah, aku menjatuhkan beberapa potongan kertas ke lantai. Mengenali tulisan anak sulung kami, Bella, aku segera memunguti dan merapikannya. Tetapi begitu membaca salah satu potongan kertas seukuran kartu nama dengan tulisan “To : Gola Gong & Tias Tatanka” aku tergelitik ingin tahu.

Ada empat belas lembar kertas beraneka ukuran, kira-kira 3 x 3 cm sampai yang paling besar 4 x 7 cm, di seluruh kertas satu sisinya bertuliskan I Love Card. Semula kupikir Bella sedang merancang dagangan untuk market day di sekolahnya, berupa kartu ucapan. Tetapi ternyata ia menuliskan banyak hal di sisi lain potongan kertas itu. Lihat saja (sesuai aslinya): Baca lebih lanjut

PEMBANTU DI RUMAH SAYA

Awal tahun 1999, kami menempati rumah sendiri, setelah hampir dua tahun jadi anak kos di Jakarta. Rumah itulah yang kami tinggali sampai saat ini, yang membuat saya nyaman dan tenang. Ketika pindah, rumah itu baru 80% jadi. Lantai atas masih beralas semen, kamar mandi baru satu, itu pun di luar kamar. Sedangkan kamar mandi dalam masih berantakan.
Seluruh lantai rumah belum ada yang dipasangi keramik, masih beralas semen, hingga anak sulung saya harus selalu memakai celana panjang dan sepatu agar lutut dan jari kakinya terlindung dari gesekan lantai saat ia merangkak kesana-kemari. Saya pun secara bertahap mempraktekkan resep kuno untuk menjadikan lantai semen mengkilap: menggosokkan ampas kelapa. Baca lebih lanjut

EMPAT, EUY! REPOT, TAPI BAHAGIA!

Subhanallah, alangkah senangnya saat kami dapat momongan yang ke-4. Aneh mungkin buat orang lain, apalagi ini bukan anak pertama, punya anak lagi adalah hal biasa, cenderung lebih repot.
Ya, aku sendiri juga merasakannya, repot banget malah! Bayangkan, keempat-empatnya belum mandiri semua, sedangkan tiap anak punya karakter berbeda, butuh penanganan yang tidak sama. Tambah lagi, anak ketiga, Odie baru 14 bulan saat punya adik lagi dan belum bisa jalan. Ini diperparah dengan rasa cemburunya yang amat besar pada adik bayi perempuannya, Azka.
Tapi, diluar dugaan, ada perkembangan menarik pada diri anak yang lain, Abi, anak kami nomor dua. Setelah papahnya tidak kos lagi di Jakarta dan memilih pulang – pergi Serang – Jakarta, Abi mau dan antusias menempati kamar di lantai dua, yang dipersiapkan untuknya kelak jika dewasa. Papahnya lantas mendandani kamar di atas dengan gambar-gambar Spider-Man, Dora, dan Spongebob. Bahkan komputer disediakan untuknya bermain game.
Tidak kos lagi, itu memang permintaan dari aku, mengingat anak kami ada empat, bayangkan kalau hanya ketemu saat weekend. Untuk jaman sekarang, kalau hanya mengandalkan kualitas pertemuan, gak bakal terwujud itu keluarga harmonis! Sok aja dilihat, apa saja yang mengelilingi anak-anak kita! Begitu tinggi angka kejahatan, dekadensi moral, dengan apa harus dibentengi anak-anak itu?
Aku bisa saja mencekoki anak-anak dengan pondasi agama, tapi tetap saja mereka butuh figur teladan ayah yang ditemui tiap hari, agar segala didikan ibunya tidak timpang. Ada lagi yang penting: logika berpikir anak-anak tetap berjalan, dan ada hakim yang menengahi perselisihan. Kadangkala anak-anak protes, menganggap ibunya terlalu mengatur. Kalau sudah begitu pasti ada yang ngambek, marah, menangis. Semuanya jadi gak bisa berpikir jernih. Baca lebih lanjut