Saat bongkar-bongkar buku di perpustakaan rumah, aku menjatuhkan beberapa potongan kertas ke lantai. Mengenali tulisan anak sulung kami, Bella, aku segera memunguti dan merapikannya. Tetapi begitu membaca salah satu potongan kertas seukuran kartu nama dengan tulisan “To : Gola Gong & Tias Tatanka” aku tergelitik ingin tahu.
Ada empat belas lembar kertas beraneka ukuran, kira-kira 3 x 3 cm sampai yang paling besar 4 x 7 cm, di seluruh kertas satu sisinya bertuliskan I Love Card. Semula kupikir Bella sedang merancang dagangan untuk market day di sekolahnya, berupa kartu ucapan. Tetapi ternyata ia menuliskan banyak hal di sisi lain potongan kertas itu. Lihat saja (sesuai aslinya):
– Thank you to loving me in 11 years old
– I’m you’re biggest fans
– You’re my love. But mytrue love is Allah. It’s alright?
– Don’t worry, I love you.
– Thank’s for teach me “the really Islam”
– Thank you for give me a big heart and love
– I can’t gift you a rainbow, but I can gift you a love and smile
– Thank you to give me foods, drinks, house, dress and many more
– Thanks Mom & Dad to tell me why I life in here
– Thanks my parents for teach me about “life”, “heaven”, “God”, and pryght
– Thank you Mom & Dad for give me you’re love
– I love you, my parents. And I now you love me too
– You’re a rainbow in my heart, Mom & Dad
– Thank’s for my parents to watching me.
Beberapa di antaranya diberi ilustrasi secukupnya, khas coretan Bella yang cenderung ekspresionis.
Aku tertegun, ucapan-ucapan ini tak termasuk dalam ungkapan hatinya yang pernah kudengar. Ada memang saat-saat Bella tidak ingin bicara banyak, biasanya saat ia bermasalah dengan teman dan saudaranya, atau bahkan sehabis berdebat dengan kami. Ia akan memilih diam dan menulis atau menggambarkan uneg-unegnya, di kertas apapun yang dapat ia temukan. Tak heran jika aku sering menemui Bella tertidur dengan lembar-lembar kertas berserakan di lantai.
Tapi ungkapan di kartu-kartu itu rupanya terlalu dalam untuk sekedar dikatakan, maka ia menuliskannya untuk kami baca, kapan pun kami menemukan. Dan sepertinya ia telah lupa dengan kartu-kartu itu saat aku menemukannya. Biasanya untuk hal-hal istimewa yang harus kami ketahui, Bella akan memberitahu “clue” hingga kami penasaran dan mencari sesuatu yang telah disiapkannya.
Akhir-akhir ini ia mengalami apa yang dihadapi penulis pada umumnya, saat mentok tak sanggup menuliskan apa pun, sementara ide di benak terus berjejalan. Kami tak pernah memaksanya menulis, bahkan menyuruh pun tidak. Hanya sesekali menyampaikan salam dari editor yang menanyakan bukunya. Seperti biasa, ia hanya mengangguk dan berlalu tanpa jawaban. Bella memang tak pernah menargetkan kapan naskahnya rampung. Kami pun membebaskannya menuntaskan tulisan sesuai kemampuannya.
Proses kreatifnya mengalir alami, dengan stimulus yang dia terima dari sekitarnya. Banyak hal yang dapat menjadikan mata air inspirasi bagi Bella, bahkan jika ia sedang asyik mengarang, anjuran kami untuk segera tidur pun tidak diturutinya. Ia akan tegas meminta kelonggaran waktu untuk tulisannya, dan kami pun dapat mengerti keinginannya.
Tentang royalty, alhamdulillah cukup banyak yang telah diterima Bella, dan ia pernah menyatakan agar uang yang diterimanya digunakan untuk keperluan yang berguna. Kami jelaskan bahwa honor menulisnya ditabung untuk keperluan sekolahnya kelak. Ketika tahun lalu membutuhkan uang untuk membayar sekolah Bella dan adiknya, kami minta ijin untuk menggunakan uang royaltinya lebih dulu, tanpa disangka-sangka Bella mendukung dan menyatakan ikhlas. “Aku lebih suka uangku digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat,” katanya pasti. Subhanallah..
Kadang aku sama sekali tidak menyangka komentarnya begitu dalam, membuatku merasa Allah sedang mendidikku melalui anak-anakku. Ini dampak dari sikap demokrasi dalam rumah kami, di mana setiap orang punya hak bicara untuk didengar dan kewajiban mendengarkan. Anak-anak terbiasa bercerita panjang lebar dan detil dari peristiwa yang mereka lihat dan alami.
Kami seringkali kewalahan ketika empat orang anak berebut ingin bercerita dalam waktu yang hampir bersamaan, atau ada yang marah karena kami tidak berkonsentrasi pada ceritanya, dan hal-hal yang membuatku sering berlinang air mata tiba-tiba saat mengingatnya.
Aku tahu, kami masih harus terus belajar menjadi orangtua yang arif, bijak dan adil. Dari anak-anaklah kami belajar kehidupan yang sesungguhnya, tentang masa-masa yang kami lewati tetapi tak terlacak memori, sekaligus memberi gambaran siklus kehidupan masa datang yang kelak mereka hadapi. Seringkali kami merasa takut pada kehidupan mendatang bagi anak-anak, tapi insya Allah dengan keyakinan penuh pada-Nya, Yang Maha Rahman dan Rahiim akan selalu menjaga kehidupan mereka. Sekaranglah saatnya membekali mereka agar siap menghadapi tantangan di masa datang.
Saat menatap anak-anak, aku tak ingat lagi bagaimana lelahnya mengasuh dan mengurusi mereka, dengan jarak kelahiran mereka begitu dekat. Tak terasa lagi kesakitan saat mulas rahim, atau ambang mati-hidup yang begitu tipis saat melahirkan. Aku tak bisa lagi melukiskan pegal di seluruh tubuh karena begadang saat anak-anak sakit. Aku telah lupa semua kesusahan karena melihat anak-anak tumbuh kian besar, dan seringkali membuat kami saling pandang dan tersenyum bersama. Subhanallah, ini pula yang dirasakan ibuku, ibu suamiku, ibu kalian dan ibu orang-orang lain. I love you, Mom…
Aku memang tak se-ekspresif Bella, tapi pernah kulakukan hal yang sama, mengungkapkan rasa cinta pada ibu, melalui kartu…***
Note: Ditulis di Rumah Dunia, 28 Juli 2009. Kenangan tak pernah lekang dalam ingatan.
ahhhh Bella….. aku mirip Bella, pendiam dan menulis saja.
Senangnya menemukan harta karun semahal itu
SukaSuka
gak cuma di kertas , tembok juga jadi media 🙂 di rumah mirip tembok ratapan :)) hehehe
SukaSuka