Di Siak Bersama Suka Cita

Seperti biasa saat bepergian, pagi hari adalah acara jalan-jalan menikmati suasana baru. Biasanya yang dituju adalah pasar tradisional. Lalu sarapan di sana, ngobrol dengan masyarakat sekitar.

Pagi hari kedua pun kami rencanakan begitu. Acara di Kantor Perpustakaan Siak dimulai pukul 8. Masih ada waktu 2 jam untuk keluyuran sebentar.

Kami pun keluar hotel Grand Royal, berbelok ke kiri. Melewati SMK 1 Siak. Terus saja berjalan di jalan mulus mirip boulevard. Tapi dipikir-pikir jauh juga jika ditempuh dengan jalan kaki! Pasar yang dituju masih berupa titik nun jauh di sana!

Sayangnya lagi tak banyak transportasi umum, dan tak ada becak yang melewati depan hotel! Waduh, bisa habis waktu kalau begini! Akhirnya kami mengurungkan niat jalan pagi.

Pukul 8 kami dijemput utusan dr KPAD Siak, lalu bergabung dengan hadirin yang telah menempati kursi dalam tenda-tenda. Kami bertemu juga dengan Kak Bimo, pendongeng dari Yogya. Berdiskusi dengan beliau amat menyenangkan, banyak ilmu dan informasi mengenai mendongeng yang didapat.

Setelah melalui serangkaian sambutan, Wakil Bupati Siak mewakili Bupati Siak membuka acara Jambore Perpustakaan Desa. Saat berbincang singkat, ternyata Wabup Siak H Alfedri memiliki putra yang tengah menuntut ilmu di Pondok Pesantren di Cinangka, Cilegon. Kami lalu memersilakan beliau mampir ke Rumah Dunia jika sedang menengok putra.

Aku sendiri duduk di deretan kanan, I sebelah istri Sekretaris Daerah dan istri Bupati Siak Hj Masniarni Syamsuar. Pak Bupati sendiri sedang ada rapat di provinsi, sehingga tidak dapat hadir.

Di deretan belakang kami adalah para lurah se-Kabupaten Siak di mana perpustakaan desa berlokasi. Kami merasa tak sia-sia hadir di situ, di antara mereka yang menggerakkan literasi dari berbagai sudut kampung.

Selesai acara seremoni, kami menemui 500 anak remaja dan memotivasi mereka dalam menulis. Sebagaimana tipikal masyarakat daerah yang biasanya malu untuk tampil bicara di depan audiens, mas Gong memutuskan untuk menjadikan buku-buku sebagai iming-iming.

Ternyata remaja-remaja itu antusias, dan mereka berani maju secara berkelompok untuk memerankan sepotong adegan. Juga beberapa remaja yang berani maju untuk menyatakan pendapatnya. Salut!

Sorenya kami bertemu dengan 50 orang anggota English Fans Club asuhan pak Abdul, salah seorang pegiat literasi di Kabupaten Siak. Anggota yang rentang usianya remaja-dewasa ini belajar cara menulis fiksi. Hal yang perlu dilakukan adalah membongkar ide mereka yang selama ini tersumbat.

Di sinilah ajaibnya, beragam ide cerita muncul dari otak mereka. Begitu pula ilustrasinya, meski beberapa orang merasa tak mampu menggambar dengan baik, tapi kami pacu mereka untuk melakukan sesuai kemampuan. Berharap ini menjadi letik api semangat untuk terus menulis, dan juga membaca.

Malamnya, kami dinner di Turap, tepi Sungai Siak. Menikmati ikan patin bakar dan kelapa muda. Juga kapal tongkang yang melewati  sungai di kegelapan malam. Kayu-kayu hasil tebangan yang diangkutnya rebah dalam sunyi. Aku masih memikirkan, berapa banyak hutan berkorban untuk kepentingan industri. Ah, kadang otak ini tak menurut untuk larut dalam suka cita, selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang menyilang atau berseberangan…

Perlukah Marah?

Menuliskan ini membuat aku terlempar ke usia remaja. Saat itu hobiku adalah marah-marah. Apa saja yang salah di mataku, langsung kuprotes dan tegur.

Bukannya tidak tahu itu tidak baik. Tapi, aku menikmatinya. Melihat betapa tersiksanya orang yang kutegur atau kumarahi, aku tertawa dalam hati. Puas sekali. Jahat? Saat itu di dalam pikiranku adalah: mengapa orang lain bisa marah sedang aku tidak? Sudah lama aku mengalah pada banyak teman.

Lalu aku merasa capek. Amat capek terus-menerus marah. Aku mulai belajar mengendalikan diri bahkan untuk hal-hal penting yang seharusnya aku berhak marah. Lepas dari remaja, aku belajar sabar. Mudahkah?

Sama sekali tidak. Kupikir ini ‘masa kekalahan’ atau ‘ketidakmampuan nyolot duluan’. Banyak teman yang heran dengan perubahan sikapku. Tapi lebih banyak yang suka.

Yang terakhir ini berpendapat bahwa aku tak punya bakat menyakiti. Barangkali begitu. Aku dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi kebaikan. Ketika berbuat salah, segera hapus dengan banyak berbuat baik. Terima kasih pada bapak almarhum dan ibu yang telah mendidikku begini.

Perlahan aku belajar menempatkan marah di urutan ke sekian belas. Sesekali maju di urutan awal, jika mengharuskan begitu. Kadang masih salah menempatkan posisi, biasanya penyebabnya adalah hormonal (pre menstruation syndrom) atau kondisi lelah.

Dan aku masih terus belajar mengelola marah. Bermacam teori dan kombinasinya kuterapkan. Belum semuanya berhasil. Tapi aku tahu satu hal: betapa marah akan menyerap energi besar dari tubuh dan membuangnya sia-sia.

Aku berusaha menghindari itu. Bukan menghilangkan, sebab marah juga diperlukan sebagai pemantik irama tubuh. Cobalah rasakan, saat mulai marah, tubuh menghangat…

Bukankah hidup begitu indah 😉

@tiastatanka

Sebab Hidup Begitu Indah (6)

Ini singkat saja, sebab di sela waktu mengerjakan tugas mendadak:)

Pernahkah begitu mudah su’udzon?
Saya pernah. Dan ternyata salah. Lalu istighfar banyak-banyak. Saya sadar sebaiknya saya minta maaf. Tapi kembali berpikir, efeknya akan lebih buruk.

Dia tidak tahu saya su’udzon. Kalau saya minta maaf dan menjelaskan perasaan saya, apakah menjamin dia ikhlas dan menerima? Tidak meninggalkan perasaan aneh di hatinya? Tidak membuat ganjalan baru di antara kami?

Maka, saya memilih tidak menjelaskan hal sebenarnya. Tapi harus menciptakan kebaikan-kebaikan pada orang tersebut untuk mengeliminasi perasaan bersalah. Sebanyak-banyaknya kebaikan. Bukankah tiap hubungan punya risiko beda pemahaman? Terhadap siapa pun.

Saya pikir, sangatlah mudah menciptakan kebaikan-kebaikan, dan tersedia banyak cara. Menerima segalanya dengan wajar, misalnya.

Kita tak boleh meniatkan berbuat salah. Niat saja tidak boleh, apalagi berbuat. Tapi kalau orang lain berbuat salah pada kita, sediakan maaf sebanyak-banyaknya. Jangan. Hitung-hitungan:)

Saya percaya, suatu saat maaf yang lain akan tersedia buat kita, mungkin dengan pihak berbeda. Wallahu a’lam bissawab.

@tiastatanka