PAPEDA-AN

Sebenarnya saya suka memasak, meski tidak mahir. Cuma seringkali waktu memasak sedikit, walhasil begitu punya waktu luang, dapur menjadi tempat istimewa untuk berkarya. Saking ingin menjadikan moment istimewa, beberapa kali kami berpura-pura mengunjungi sebuah rumah makan padahal hanya di meja makan rumah.

Anak-anak pun suka diberi kesempatan memesan menu yang mereka inginkan. Tentu saja menunya sudah saya tetapkan dulu sesuai ketersediaan bahan di kulkas.

Walaupun itu hanya terjadi beberapa kali, karena membutuhkan tenaga ekstra mengerjakannya sendiri. Hahaha. Alhamdulillah selama ini masakan tidak tertolak. Jika ada keberatan kami ingatkan pada yang nasibnya tak seberuntung kami. Biasanya sih berhasil membuat anak-anak menyantap masakan. Awalnya berat, tapi lalu lupa karena larut dalam percakapan.

Seperti malam itu, tiba-tiba saja saya ingin memasak papeda, masakan khas daerah Maluku dan sekitarnya. Ada stok sagu ambon, ikan dan bumbu paliat. Gerak cepat memasak, jadilah papeda-papedaan.

Suami saya pernah cerita kelezatan papeda. Beberapa kali menyajikan untuknya dinilai memuaskan. Hahaha. Kali itu saya berharap sukses pula.

Berhubung baru pertama menggunakan sagu ambon yang sudah dikemas cetakan, saya salah perkiraan. Sebaiknya sagu direndam air dingin dulu sampai larut baru dimasak. Tapi karena buru-buru, saya kelupaan. Begitu air mendidih, saya masukkan sagu cetak. Baru nyadar setelah melihat beberapa gumpalan tidak larut. Segera disaring dan dihancurkan, tapi sagu kering telah jadi bubur. Ya sudah, meneruskan yang ada. Parahnya, takaran air kebanyakan, hasilnya agak encer. Huhuhu…

Sementara sagu dingin, ikan menunggu matang. Berharap jika sagu telah dingin akan mengental dengan sendirinya. Sayang, saya bukan penyihir. Jadi sagu tetap begitu. Baiklah.

Saat makan tiba. Ada keheranan anak-anak dengan menu baru yang baru pertama mereka temui. Ada penolakan demi melihat bubur encer. Tapi kami provokasi ini saatnya mengenal masakan dari daerah Indonesia bagian timur. Alhamdulillah anak-anak mau mencoba, di tengah komentar ini-itu yang tidak menyakitkan.

Demikian acara "kukenit" alias cook and eat bersama saya, "chep" abal-abal dalam menu papeda-an. Suatu hari nanti mau belajar bikin papeda beneran sesuai resep asli.

Rumah, 27 Oktober 2016
#latepost #papeda #kuliner #maluku #sagu #masakanindonesia

I AM YOUR LEFT HAND (2)

Punya suami traveler itu harus kuat. Kuat ditinggal-tinggal, dan kuat dengerin cerita perjalanannya. Kecuali suaminya pendiam dan jarang cerita.

Kalau kayak suamiku, belum ditanya udah cerita duluan. Herannya, sampai seminggu masih aja ada bahan yang belum selesai dikisahkan. Hahaha.

Baru juga nyampai, nanya kabar, lalu mandi, trus kumat maagnya.
"Maah, Maah.. Pijitin tangan sini!"
Hihihi.
Sambil menikmati pijatanku, dia cerita kronologi perjalanannya. Aku sih senang-senang saja dengernya, namanya juga sebagai istri salihah wannabe. Kalau kelihatan aku bosan, dia ubah ceritanya jadi lucu, jadi bikin aku ketawa. Eh salah, bikin aku jadi ketawa. (mudeng ora bedane, son!)

Pokoknya ndak ada habisnya stok ceritanya. Walau secara alur maju sudah kronologis, kalau ingat ada yang belum diceritakan, alurnya berubah jadi flashback. Hampir semua diceritakan, ketemu siapa pun. Termasuk ketemu teman wanita atau malah mantan. Dia cerita sejujurnya. Tahunya kalau dia jujur? Sebulan setelah itu saya tanya lagi, dan ceritanya masih sama. Hehehe.

Waktu awal menikah juga sempat termehek-mehek kalau dia harus tugas keluar kota, bahkan cuma sehari dua. Tapi karena setiap pulang dia cerita semuanya, lama-lama saya mencoba mengerti. Capek juga cemburu dan dicemburuin. Toh jadiannya juga sama saya. Pulang juga ke saya. Jadi ya, percaya saja. Indikator lain adalah sholatnya. Kalau ada yang masih disembunyikan, pasti tampak dari sholatnya yang gelisah.

Kalau sudah begitu, tinggal nunggu waktu kapan akan cerita. Biasanya yang begini soal serius. Saya (kok jadi ganti saya, ya? Yah, sudahlah, malas editnya. Hihihi.) akan meluangkan waktu khusus mendengar kegelisahannya. Setelahnya ya lega, solusi ditemukan. Sudah, nggak ada ganjalan.

Saya yakin dia merasa saya tahu banget tentang dia. Jadi cerita ke saya membuatnya nyaman, nggak khawatir saya kalap. Sekalipun cerita itu berpotensi mengingatkan pada lagu-lagu Betharia Sonatha. (Lah napa dia yang salah?)

Jika suatu kali ada yang mengompori cerita yang terlupa diceritakan misua, saya tinggal nagih aja cerita lengkap setelah pulang. Jadi jangan berharap ada keributan di rumah soal-soal begini. Keributan di rumah hanya terjadi saat ada gol masuk gawang di pertandingan sepakbola.

Begitulah saya menempatkan diri di sampingnya. Sebagai apa pun, terlebih lagi sebagai tangan kirinya.

Rumah Dunia, 26 Oktober 2016

SEBOTOL SAMBAL ROA

Kisah ini bermula ketika mendengar Natasha Azka sering memutar video Youtube Belagu (Belanja Lewat Lagu) yang pernah diputar Gen FM. Program itu menghadirkan artis penyanyi memesan produk tertentu dengan bernyanyi. Si penjual yang ditelepon mendadak harus menjawab dengan cara menyanyi juga. Biasanya si penjual tidak "ngeh" yang sedang bicara dengannya adalah artis terkenal.

Beberapa edisi Belagu menjadi favorit kami selama perjalanan. Salah satunya adalah saat Isyana Saraswati memesan Sambal Roa Ibu Rika. Kami suka gaya Isyana memesan produk dengan bernyanyi seriosa. Alur cerita dan dialog bahkan kami tiru sambil ketawa-ketiwi.

Inilah yang saya ceritakan pada Nabila Nurkhalishah siang tadi. Penasaran dia searching video Isyana dalam Belagu. Sementara saya teringat papah Golagong New yang baru tiba dati Sulawesi membawa oleh-oleh Sambal Roa. Berhubung saya bukan penggemar sambal, saya adem-ayem saja menerimanya.

Di meja makan, sambil mendengar lagi dialog Isyana dan Ibu Rika, saya membuka botol sambal. Meskipun produk yang saya cicipi bukan buatan Ibu Rika, yang penting kan sama-sama terbuat dari ikan roa. Menurut Ibu Rika, ikan roa cuma ada di laut Manado.

Begitu mencicipi sejumput sambal roa, lalu bergegas ke dapur. Ambil sepiring nasi dan menambahkan sesendok kecil sambal. Cocol sedikit demi sedikit, susah sekali berhenti. Padahal saya baru saja makan siang di luar rumah. Ini sambal amat menggoda untuk dikomentari enaknya juara.

Melihat emaknya asyik cocol-mencocol sambal dan komen ini-itu, Nabila mendekat dan ikut mencicipi. Akhirnya berdua menghabiskan sepiring nasi, lalu nambah nasi lagi. Kami sepakat sambal roa beneran enyak, enyak, enyak.

Malamnya saya menyediakan sambal roa saat kami makan malam. Kembali saya provokasi yang lain untuk mencicipi. Dan langsung deh disambut dengan antusiasme tinggi. Saya yang merasa kenyang cuma ingin menjumput sambal roa. Tapi begitu sampai ke lidah, saya tergoda ambil nasi. Malam ini sambal roa jadi favorit, hingga ludes tinggal botolnya.
Terima kasih buat yang udah kasih oleh-oleh sambal roa yang tiada tara.

Ruang makan rumah 25 Oktober 2016

SEBOTOL SAMBAL ROA

Kisah ini bermula ketika mendengar Natasha Azka sering memutar video Youtube Belagu (Belanja Lewat Lagu) yang pernah diputar Gen FM. Program itu menghadirkan artis penyanyi memesan produk tertentu dengan bernyanyi. Si penjual yang ditelepon mendadak harus menjawab dengan cara menyanyi juga. Biasanya si penjual tidak "ngeh" yang sedang bicara dengannya adalah artis terkenal.

Beberapa edisi Belagu menjadi favorit kami selama perjalanan. Salah satunya adalah saat Isyana Saraswati memesan Sambal Roa Ibu Rika. Kami suka gaya Isyana memesan produk dengan bernyanyi seriosa. Alur cerita dan dialog bahkan kami tiru sambil ketawa-ketiwi.

Inilah yang saya ceritakan pada Nabila Nurkhalishah siang tadi. Penasaran dia searching video Isyana dalam Belagu. Sementara saya teringat papah Golagong New yang baru tiba dati Sulawesi membawa oleh-oleh Sambal Roa. Berhubung saya bukan penggemar sambal, saya adem-ayem saja menerimanya.

Di meja makan, sambil mendengar lagi dialog Isyana dan Ibu Rika, saya membuka botol sambal. Meskipun produk yang saya cicipi bukan buatan Ibu Rika, yang penting kan sama-sama terbuat dari ikan roa. Menurut Ibu Rika, ikan roa cuma ada di laut Manado.

Begitu mencicipi sejumput sambal roa, lalu bergegas ke dapur. Ambil sepiring nasi dan menambahkan sesendok kecil sambal. Cocol sedikit demi sedikit, susah sekali berhenti. Padahal saya baru saja makan siang di luar rumah. Ini sambal amat menggoda untuk dikomentari enaknya juara.

Melihat emaknya asyik cocol-mencocol sambal dan komen ini-itu, Nabila mendekat dan ikut mencicipi. Akhirnya berdua menghabiskan sepiring nasi, lalu nambah nasi lagi. Kami sepakat sambal roa beneran enyak, enyak, enyak.

Malamnya saya menyediakan sambal roa saat kami makan malam. Kembali saya provokasi yang lain untuk mencicipi. Dan langsung deh disambut dengan antusiasme tinggi. Saya yang merasa kenyang cuma ingin menjumput sambal roa. Tapi begitu sampai ke lidah, saya tergoda ambil nasi. Malam ini sambal roa jadi favorit, hingga ludes tinggal botolnya.
Terima kasih buat yang udah kasih oleh-oleh sambal roa yang tiada tara.

Ruang makan rumah, 25 Oktober 2016

#kuliner #culinary #roa #sambal #Manado #genfm #Sulawesi #Celebes #belagugenfm #radio

PALIAT ALA-ALA

Siang ini makan siangnya terlalu dini. Mau disebut brunch, menunya termasuk berat.

Ini memenuhi janji ke mba Zuraida Hamdie, membuktikan saya telah menyuguhkan masakan khas Tabalong di meja makan rumah, berupa ikan purisi berbumbu paliat. Tapi saya tidak menambahkan santan atau kemiri. Jadilah paliat ala-ala nih, mba Ida. Hehehe.

Paliat adalah menu khas Tabalong, Tanjung, Kalimantan Selatan. Bumbu yang saya pakai sudah diracik oleh chef Rumah Makan Paliat Hj Maryam di Tanjung. Ternyata masih bagus disimpan di freezer. Tinggal menambahkan bawang merah dan santan. Berhubung misua menghindari masakan bersantan, saya tidak menggunakan santan seperti halnya resep asli.

Jika bumbu raciknya kentara sekali komponen kunyit, setelah dimasak ternyata hampir tidak ada rasa kunyit sama sekali. Lain kesempatan saya mau coba memasak paliat dengan bumbu lengkap racik sendiri.

Ikan yang digunakan juga yang mudah didapat di Serang. Di gambar ini saya pakai ikan purisi, juga ada ikan kembung kecil yang nyelip. Aslinya pakai ikan air tawar semisal haruan.

Rasanya kalau dibandingkan paliat asli pasti kalah jauhlah. Hahaha. Tapi ini salah satu cara saya untuk eksis sebagai emak dan "chep" yang baik dalam menghadirkan Indonesia di piring makan. *yak apalah apadeh*

Ruang makan rumah, 26 Oktober 2016