Awal tahun 1999, kami menempati rumah sendiri, setelah hampir dua tahun jadi anak kos di Jakarta. Rumah itulah yang kami tinggali sampai saat ini, yang membuat saya nyaman dan tenang. Ketika pindah, rumah itu baru 80% jadi. Lantai atas masih beralas semen, kamar mandi baru satu, itu pun di luar kamar. Sedangkan kamar mandi dalam masih berantakan.
Seluruh lantai rumah belum ada yang dipasangi keramik, masih beralas semen, hingga anak sulung saya harus selalu memakai celana panjang dan sepatu agar lutut dan jari kakinya terlindung dari gesekan lantai saat ia merangkak kesana-kemari. Saya pun secara bertahap mempraktekkan resep kuno untuk menjadikan lantai semen mengkilap: menggosokkan ampas kelapa.Tapi bukan rumah itu yang ingin saya tuliskan di sini, melainkan orang yang membantu merawat rumah saya: pembantu rumah tangga. Awal tahun 1999 itu saya sedang hamil lima bulan, anak kedua, dan kerepotan untuk mengurus rumah sekaligus mengasuh anak. Saking repotnya, bahkan saya kadang tidak punya waktu lagi untuk membaca! Belum lagi jika ada order menulis skenario untuk tayangan televisi. Karenanya, saya membutuhkan seorang pembantu rumah tangga.
Saya bersyukur memiliki suami yang amat mengerti kebutuhan saya akan bacaan dan menulis sebagai media ekspresi. Ada untungnya juga buat dia, karena sejak menikah saya bisa membantunya menerjemahkan skenario yang dia buat ke dalam Bahasa Inggris, karena saat itu bosnya adalah orang Amerika. Meski Bahasa Inggris hanya pasif, saya mencoba dengan penuh semangat. Bukankah itu juga wujud dari pengabdian saya sebagai istri? Demi efektivitas waktu dan memperlancar urusan kerja itulah, saya minta ijin mengambil seorang pembantu.
Maka, mulailah babak baru dalam kehidupan rumah tangga kami: memiliki pembantu, yang tidur di rumah. Rumah kami berlantai dua, lantai atas digunakan suami saya sebagai ruang kerja, dan sebuah kamar yang digunakan kamar tidur pembantu. Sebenarnya masih ada lagi kamar di lantai atas, tapi begitu keluar kamar langsung menghadap teras tempat menjemur pakaian. Dengan pertimbangan keamanan pembantu yang kebetulan perempuan, maka kami ijinkan dia menggunakan kamar atas bagian dalam.
Pembantu saya itu sangat rajin, pengertian, mudah diajak kerja sama, jujur, sopan, dan sifat baik lainnya. Ia juga rajin sholat. Tapi, ada hal penting yang membuat saya kurang cocok dengannya. Saya agak sulit menjelaskan hal itu, yang jelas saya merasa ‘terganggu’ dengan kehadirannya. Bukan hal buruk sebenarnya, mungkin saya hanya tidak cocok.
Entahlah. Akhirnya, dengan terpaksa kami memutuskan ‘kerja sama’ itu. Berat memang buat dia, sedih pula bagi saya. Tapi, saya merasa ketidaknyamanan yang berakibat emosi saya sering meninggi, meski saya tidak pernah mengeluarkan kata-kata kotor atau makian kepadanya. Saya tahu betul, tugasnya berat, dan itu yang menyebabkan saya begitu fleksibel. Jika pembantu saya sedang sibuk memasak atau membereskan rumah, sementara saya ingin ia mengerjakan sesuatu, sedapat mungkin saya akan kerjakan sendiri pekerjaan saya itu.
Tapi, kehadiran orang lain yang tak ada kaitan darah dengan kita memang agak sulit diterima. Saya sendiri masih harus belajar sabar, meski kata orang, saya termasuk orang yang sabar.
Sebelumnya, saat di rumah kos di Jakarta pun saya mengambil pembantu yang tidur di dalam. Saat itu, situasinya lebih rumit, karena kami harus berbagi dengan orang lain di rumah petak 5×8 meter persegi. Tapi saya yang punya bayi dua bulan tak sanggup mengurus rumah sendirian. Sementara suami saya bekerja keras mencari tambahan uang, karena di saat sama kami sedang membangun rumah di Serang.
Pembantu pertama saya itu pun kami berhentikan karena ‘over confidence’. Usianya yang menginjak remaja membuatnya senang bergaul, dan hobi main ke tetangga. Semula saya tidak mempermasalahkan hal itu. Tetapi karena rumah petak kami berdempetan dengan tetangga, dan pembantu saya yang pertama itu suaranya besar, alhasil suara tertawanya pun terdengar hingga ke rumah yang paling ujung, diagonal dengan rumah saya yang juga di ujung. Meski tak ada tetangga yang komplain, tapi saya tak enak hati.
Kembali lagi ke cerita pembantu kedua, setelah ia pulang, saya memilih mencari pembantu yang datang pagi pulang sore. Ternyata dengan pola begitu lebih nyaman bagi kami. Tapi ada juga hal-hal kecil yang membuat kami kesal.
Pembantu ketiga saya seorang gadis periang yang mempunyai kelemahan pendengaran. Badannya bongsor, tak cepat lelah ketika bekerja. Ia sangat suka jika saya membuat kue, karena ia pasti dapat jatah seperempat loyang untuk dibawa pulang. Baginya, adalah sebuah kebahagiaan untuk membagi makanan bersama adik-adiknya.
Karena kesukaannya akan kue, suatu hari saya kecolongan seiris kue pai yang sengaja saya buat untuk suami saya. Sedianya saya telah menyediakan irisan lain buat pembantu itu, tapi ia mengambil lebih dulu. Dan parahnya, ia tak mengaku. Saya bukan mempermasalahkan seiris kue, toh saya sering memberinya bagian lebih besar. Tapi ketidakjujurannya pada saya telah melukai kepercayaan saya padanya.
Kali kedua, yang membuat suami saya naik pitam, ketika kami membereskan rak buku dimana terletak buku-buku Hadits dalam bentuk seri. Pembantu saya itu membaca buku jilid pertama dan membawanya ke belakang. Kami senang saja ada orang yang mau membaca buku, apalagi seorang pembantu. Tanpa prasangka, kami membiarkannya. Ia sempat pamit pulang sebentar, setelah membersihkan rak, sebelum menata ulang buku-buku.
Tapi ketika sore hari, rak yang telah kering dan bersih hendak diisi buku, seri pertama raib entah ke mana. Saya dan suami kelabakan mencari seharian itu. Pembantu yang ditanya tak tahu menahu. Kami pun tak ingin su’udzon.
Esoknya, suami saya ‘mengadili’ pembantu ketiga itu, dengan menyuruhnya pulang kembali ke rumah dan mencari buku itu. Pembantu saya dengan berani mengomel merasa dituduh. Tapi dia pulang juga ke rumahnya. Semula, kami menyangka ia tak berani lagi datang ke rumah kami. Ternyata ia kembali dengan wajah innocent, dengan wajah setengah mencurigakan mengatakan buku itu tak ada padanya.
Kami telanjur tak percaya, karena gelagat tak jujurnya. Suami saya sangat kesal karena seri Hadits itu dibeli susah payah dengan mencicil pembayarannya. Harganya untuk kantong kami terhitung mahal. Edisi bukunya lumayan lux. Bagi kami, buku adalah aset. Jadi, saya tak menyalahkan suami yang sempat memberi peringatan keras pada pembantu itu.
Seiring dengan pekerjaan semakin banyak, dan saya punya anak lagi (anak kedua), kami mengambil dua pembantu, yang kami pekerjakan secara shift. Bagian pagi, mulai pukul enam pagi hingga pukul dua siang. Shift kedua pukul sepuluh pagi hingga pukul enam sore. Model shift ini semula saya tentang karena pekerjaan rumah tangga menumpuk di pagi hari, yang akan kerepotan jika ditangani satu pembantu saja.
Suami saya meminta saya mencobanya, dan saya merasa adalah kewajiban untuk patuh pada suami, karena ia memikirkan kepentingan saya juga. Akhirnya saya berlakukan sistem shift ini, dan itu pula yang mengakhiri problem pembantu lebih satu orang: kebanyakan ngobrol saat kerja.
Paragraf di atas adalah cerita tentang pembantu nomor lima dan enam. Kini, nomor enam digantikan nomor tujuh, tanpa penerapan model shift, karena nomor tujuh ini masih berat meninggalkan majikan lamanya. Ia memilih tidak bekerja di rumah saya dengan sukarela, daripada disuruh melepas pekerjaannya di sebuah perumahan tiga kilometer dari rumah saya.
Padahal, jika ingin praktis, ia bisa kerja penuh di rumah saya, yang hanya berjarak tiga ratus meter dari rumahnya. Heran saya, tapi menjadi mafhum akan arti loyalitas. Memang Si Nomor Tujuh ini telah bekerja di tempat itu lebih dulu sebelum di rumah saya.
PERLAKUAN BIJAK
Sejak masih kecil, saya dididik orang tua saya untuk menghargai semua orang, termasuk pembantu. Ketika menyuruh harus berkata baik, dan sebisa mungkin menyertakan kata “tolong”. Jika telah dibantu, mengucapkan “terima kasih”. Ini pula yang saya terapkan dalam keseharian saya dan anak-anak kami. Saya pun tak canggung untuk minta maaf jika melakukan kesalahan, atau setelah mengomel dan memarahi karena keteledoran pembantu. Setelah itu, saya biasa kembali.
Saat ini, pembantu nomor lima saya telah bekerja hampir tiga tahun di rumah saya, dan jika ditanya apakah ingin pindah pekerjaan atau berhenti, ia menolak. Saya pun masih membutuhkannya.
Banyak orang mempertanyakan hal ini, dalam keluarga kami mungkin ini rekor tak terpecahkan setelah pembantu keluarga suami semasa ia kecil. Saya tak bisa memberikan resep pastinya, tapi saya yakin, sikap sayalah yang membuat Nomor Lima ini bertahan hingga sekarang.
Padahal, bekerja sama dengannya bukan tanpa masalah, karena kebetulan ia juga mempunyai kekurangan di pendengaran, serta pendiam. Sampai-sampai saya tegur karena tak menjawab pertanyaan anak-anak saya saat sedang menyuapi mereka.
Saking diamnya, ketika ada pesan-pesan dari tamu atau tetangga saat saya tak ada di rumah, tak disampaikannya. Alasannya gampang dan sulit disalahkan: lupa. Atau ketika saya lupa memberi order ke dia untuk menu hari itu, pernah ia tak memasak sama sekali, karena menunggu perintah saya. Lagi-lagi saya tak bisa menyalahkannya. Saya kadang heran dengan kemampuan berpikirnya. Sedang suami saya menjawab dengan santai: kalau pintar ia takkan mau jadi pembantu!
Suami saya pula yang menyarankan agar saya lebih bijak menghadapi para pembantu itu, toh mereka masih tetap jujur dan bersedia diperintah ini-itu. Tak sulit buat saya menjalankan saran itu, toh saya jarang mempermasalahkan kualitas pekerjaan mereka. Asal tak parah-parah amat, hasil kerja pembantu itu bisa saya terima.
Tiga tahun bukan waktu yang pendek untuk menghadapi para pembantu itu, terutama Nomor Lima, yang kini jadi senior bagi temannya. Waktu jua yang menjadikan mereka lebih cerdas dan ‘inovatif’ mengolah resep.
Saya pun mengajari mereka hal-hal praktis yang dapat mempercepat pekerjaan mereka. Termasuk membaca resep. Kini, jika saya ingin mencoba resep baru sedangkan waktu terbatas, saya tinggal meminta pembantu untuk membaca resep sebuah masakan dari sebuah buku. Tentu saja resep sederhana yang tak sulit mereka kerjakan.
Bersikap bijak, itu pun saya pinta dari orang-orang yang menanyakan sikap pembantu saya. Ada yang mengabarkan keburukan pembantu pada saya. Ada pula yang menanyakan resep panjang umur kerja. Tentu yang terakhir ini hanya segelintir orang. Kebanyakan mereka yang saya temui, jika sudah bicara soal pembantu, yang keluar adalah keluhan dan ketidaksenangan. Saya pun pernah bersikap sama, tapi kini sudah jauh berkurang.
Saya pikir, membicarakan pembantu tak akan mempengaruhi kinerja pembantu itu sendiri, tanpa komunikasi yang baik. Mungkin yang saya lakukan baru komunikasi satu arah, tapi yang jelas, saya mencoba untuk bersikap bijaksana, dan selalu mengingat bahwa mereka juga manusia yang membutuhkan istirahat. Toh ketika saya membutuhkan bantuan, mereka masih mau melakukannya.
Itu pula yang saya tekankan pada mereka yang heran melihat saya membiarkan pembantu saya istirahat, santai, mengobrol dengan pembantu tetangga menjelang pukul sepuluh-sebelas pagi. Saya harus membela pembantu saya dengan menjelaskan bahwa mereka telah mengerjakan semua pekerjaan dengan cepat dan praktis, agar bisa mengoptimalkan siang hari untuk rehat barang sejenak. Bagi yang jarang melihat pola kerja itu, tentu akan heran dan mungkin menganggap sebagai pembantu tak tahu diri.
] Hal ini sering saya bicarakan dengan suami. Jawabnnya, saya akan merasa senang tidak, jika suami saya diperlakukan tidak manusiawi oleh mahikan suami saya? Itu juga terkait dengan bonus tahunan (tunjangan hari raya), yang kami bayar satu bulan gaji. “Mamah senang nggak kalau Papah dapat bonus/ Nah, apa salahnya kita juga mebuat senang orang lain!” begitu kata suami saya.
Pembantu bukanlah mesin pengganti ibu rumah tangga. Jadi, tak ada salahnya kita ringankan bebannya, seprti juga yang sudah dilakukan orang lain pada suami saya di tempatnya bekerja. Hal yang perlu untuk selalu diingat adalah situasi saat tak ada mereka, terbayang betapa repotnya!
***