Gege Mengejar Cinta: ‘Lupus Milenia’ Ketiga

cover-gege-mengejar-cintaJudul Buku      : Gege Mengejar Cinta

Penulis             : Adhitya Mulya

Penerbit           : Gagasmedia

Tahun              : 2005, Cetakan kedua

Tebal buku      : 234 + xii halaman

Mohon maaf pada Hilman, kreator Lupus, karena istilah Lupus Milenia-nya saya pakai untuk mengomentari novel seorang penulis muda –ia memang belum kakek-kakek!- Adhitya Mulya, kelahiran tahun 1977.

Tapi –suwer!- saya kesulitan mencari padanan penulis yang mengusung warna sama: calinyol (kocak, lincah, konyol). Oke ya, saya tidak akan membandingkan kedua penulis maupun karyanya. Satu-satunya –eh, sorry! Dua, tepatnya!- alasan yang membuat saya membaca buku kedua Adhitya adalah karena suami saya juga sering dipanggil Gege oleh penggemarnya dan yang kedua karena di kaver belakang ada gambar kepala ondel-ondel, yang membuat anak-anak saya tak habis bertanya tentangnya. Well, anak-anak saya suka segala sesuatu yang berbau ondel-ondel.

Jadi, sebetulnya saya penasaran, siapakah yang Adhit sebut Gege dalam novelnya, itu harus saya ketahui secara pasti. Dan ternyata memang tidak ada hubungannya sama sekali dengan my husband. Sedangkan ondel-ondel itu, erat kaitannya dengan kejadian tragis-dramatis yang diekploitir habis-habisan di akhir cerita.

Di sini saya harus mengakui memang kaver novel itu cukup menggambarkan bagaimana pengejaran cinta itu tertuntaskan. Siluetnya membantu saya mengingat bahwa Gege, tokoh utama novel ini adalah sosok yang gemuk, sedangkan Caca, wanita yang dikejarnya adalah an almost  perfect woman.

Siluet ketiga adalah tokoh Ventha, yang memegang ponsel dalam kondisi hidup –menyala, maksudnya!-. Ventha adalah sahabat Gege. Mereka bekerja di sebuah stasiun radio, sama seperti Tia, si Siluet Keempat, yang naksir berat sama Gege, tapi ditolak mentah-mentah –emang ada yang nolak setelah mateng, gitu?!

Berikutnya, nyambung ke kaver belakang, yang pegang topeng ondel-ondel adalah Joko Tanpa D, yang ngebet berat sama Caca. Terlalu panjang jika saya harus ceritakan di sini, sejarah ikut sertanya topeng ondel-ondel itu. Anda bisa membacanya sendiri di novelnya.

Adapun sisa siluet lainnya adalah turis Jepang, polisi dan security bandara yang menjadi penggembira bab penutup novel. Well, itulah klimaks dari novel Adhitya Mulya setelah novel pertamanya, Jomblo begitu digandrungi oleh mereka yang suka.

Membaca Gege Mengejar Cinta adalah seperti mengejar seorang Adhitya yang menabrak pakem dan rambu-rambu ‘Berbahasa Indonesia dengan Baku, Baik, Benar dan Sopan’. Ia tidak peduli apakah pembaca mafhum dan nyambung dengan footnote sejumlah 67 buah. Juga tidak peduli apakah kata-kata dalam kotak pertama di halaman 188 perlu diterakan. Ehm, saya harus menyempatkan diri menengok kamus Inggris-Indonesia bahwa interpretasi saya pada sebuah kata dalam kotak itu adalah benar. Atau ada idiom baru yang menjadikannya ungkapan yang sopan?

Ah, itu kembali lagi pada Adhitya. Saya hanya boleh menempatkan diri sebagai pembaca, penikmat dan perenung kata-kata. Tapi, saya juga menunggu apakah Jose Purnomo, satu-satunya pemberi komentar, akan mengangkatnya menjadi sebuah film layar lebar. Setting dan bahasa novel ini filmis, lho Mas! Seperti kata-kata  anda dalam endorsment: ‘klimaks yang chaotic’.

Satu lagi sebelum akhir tulisan ini, saya berharap bagian akhir dari novel itu (nomor 17) tidak usah disertakan karena buat saya malah merusak ‘klimaks yang chaotic’ itu. Hehehe…. (bukan berarti saya tidak serius menulis resensi ini!) ***

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s