Menuliskan ini membuat aku terlempar ke usia remaja. Saat itu hobiku adalah marah-marah. Apa saja yang salah di mataku, langsung kuprotes dan tegur.
Bukannya tidak tahu itu tidak baik. Tapi, aku menikmatinya. Melihat betapa tersiksanya orang yang kutegur atau kumarahi, aku tertawa dalam hati. Puas sekali. Jahat? Saat itu di dalam pikiranku adalah: mengapa orang lain bisa marah sedang aku tidak? Sudah lama aku mengalah pada banyak teman.
Lalu aku merasa capek. Amat capek terus-menerus marah. Aku mulai belajar mengendalikan diri bahkan untuk hal-hal penting yang seharusnya aku berhak marah. Lepas dari remaja, aku belajar sabar. Mudahkah?
Sama sekali tidak. Kupikir ini ‘masa kekalahan’ atau ‘ketidakmampuan nyolot duluan’. Banyak teman yang heran dengan perubahan sikapku. Tapi lebih banyak yang suka.
Yang terakhir ini berpendapat bahwa aku tak punya bakat menyakiti. Barangkali begitu. Aku dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi kebaikan. Ketika berbuat salah, segera hapus dengan banyak berbuat baik. Terima kasih pada bapak almarhum dan ibu yang telah mendidikku begini.
Perlahan aku belajar menempatkan marah di urutan ke sekian belas. Sesekali maju di urutan awal, jika mengharuskan begitu. Kadang masih salah menempatkan posisi, biasanya penyebabnya adalah hormonal (pre menstruation syndrom) atau kondisi lelah.
Dan aku masih terus belajar mengelola marah. Bermacam teori dan kombinasinya kuterapkan. Belum semuanya berhasil. Tapi aku tahu satu hal: betapa marah akan menyerap energi besar dari tubuh dan membuangnya sia-sia.
Aku berusaha menghindari itu. Bukan menghilangkan, sebab marah juga diperlukan sebagai pemantik irama tubuh. Cobalah rasakan, saat mulai marah, tubuh menghangat…
Bukankah hidup begitu indah 😉
@tiastatanka