Sebab Hidup Begitu Indah (3)

Diskusi Serius  Selepas subuh itu, aku dan hubby membicarakan banyak hal. Bermacam topik meloncat begitu saja dari   pikiran masing-masing. Soal pekerjaan, karya, anak-anak, keluarga besar, keuangan, rencana-rencana, keinginan-keinginan, dan tubuh yang menua.

Sejak 2008 aku harus menghadapi kondisinya yang sering mengeluh sakit. Sempat menjalani perawatan beberapa minggu di RS Holistic di Purwakarta, Jawa Barat. Lalu menempuh pengobatan alternatif Qi Gong dan konsumsi ramuan herbal.

Dulu sempat disesalinya, karena seolah aku hanya menerima sisa kekuatannya. Sebab ia tak lagi sanggup menemaniku yang ingin sekali ke Baduy. Sejak lama aku ingin berkunjung, tapi suamiku bilang sudah bosan jalan ke sana. Ia tak menyadari aku  belum pernah.

Ketika sadar, ia tak kuat menemani. Barangkali jika anak-anakku berkunjung ke sana, aku disuruh nebeng mereka:D Tetapi itu tak kusesali. Juga ketika menerima keluhan-keluhan akumulasi rasa capek seharian beraktivitas. Malam hari, sambil berbincang, aku pijat lengan kanannya. Ia tak berlengan kiri. Dan aku, seringkali lupa ia tak memilikinya:)

Aku tak punya waktu menyesali banyak keinginan yang tak sampai, karena kupikir tak ada gunanya disesali. Hidup yang dihadapi bukanlah masa lalu. Ia ada di depan. Saat perut suamiku mulai buncit dengan timbunan lemak. Bukan saat ia lincah main bulutangkis dengan tubuh rampingnya.

Dengan satu lengan, ia mengerjakan banyak hal sebagaimana orang lain. Aku jarang melarang dan tak begitu khawatir. Kecuali jika kondisinya tidak fit aku akan mengingatkan, atau dengan ekstrim melarang. Menyetir mobil, mengendarai motor, mencuci baju, bahkan menalikan tali sepatu. Semua dilakukannya sendiri semenjak bujangan. Karenanya, setelah menikah pun aku membiarkannya. Sesekali aku membantu menalikan tali sepatu, dan tentu saja ikatanku lebih kuat:)

Banyak hal yang tak dapat dilakukannya, memang. Dan aku tak keberatan menangani sendiri. Atau bersama. Memasang paku, mengangkat meja komputer, memboncengkannya saat ia tak kuat bermotor. Kupikir itulah artinya menerima, agar seimbang hidup ini.

Dan pagi itu aku mendengar darinya, tentang cinta akan muncul dengan sendirinya. Tentang malaikat akan menyampaikan getaran rasa kepada siapa yang berhak. Bahwa keberadaan kita dan pasangan akan menyebabkan semesta merebahkan diri.

Aku tersadar, aku makin menyukai tubuh gemuk yang membuatnya agak lamban berjalan, senyum dengan pipi tembem, juga pandangan mata yang sarat dengan kerut lelah.

Aku pun semakin cinta mendengar takbirnya dalam sholat, bisikan doa rahasianya, dan bacaan surah meski belum sempurna. Ia memiliki banyak kekurangan, sama sepertiku. Tapi dengan kelebihan masing-masing berusaha saling melengkapi.

Tulisan ini tidak untuk menyanjungnya. Atau pun menunjukkan kebaikanku. Hanya sekadar penanda, hidup begitu indah untuk sekadar dianggap biasa.

 

@tiastatanka

5 thoughts on “Sebab Hidup Begitu Indah (3)

Tinggalkan komentar